Senin, 16 Oktober 2017

Pemikiran Tafsir Kontemporer: Muhammad Syahrur

Hermeneutika Syahrur berlandaskan pada pembagian proses memahami dalam tiga unsur, yaitu kainuunah (berada), sairuurah (proses), dan shairuurah (menjadi). Pemahaman harus didasari pada keadaan penurunan teks yang berkembang melalui proses zaman klasik dan pertengahan kemudian membumi pada keadaan sekarang sebagai tujuan. Contohnya, Syahrur mencoba merekonstruksi ayat muhkamat bahwa ketentuan produk fiqh yang disampaikan ulama’ klasik boleh jadi tidak relevan dengan zaman sekarang. Karena itu, al-sunnah nabi adalah model awal penafsiran dan bukanlah satu-satunya bentuk aplikasi hukum yang sesuai sepanjang masa.

Elastisitas pemahaman dan penerapan umm al-kitab diaplikasikan pada teori Nazariyyah al-Hudud bahwa legitimasi hukum dibagi atas dua batas (al-hadd al-a’la dan al-hadd al-adna). Al-hudud mengandung arti “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tetapi masih terdapat pintu ijtihad yang elastis, fleksibel, dan dinamis”. Syahrur memandang hukum potong tangan bagi pencuri dalam Q.S. Al Maidah: 38 adalah ketentuan batas maksimal sementara batas minimal adalah dimaafkan. Di sinilah ruang ijtihad ditemukan bahwa perlu untuk menimbang seberapa besar tingkat kesalahan. Tentu berbeda hukuman pencuri jajanan pasar dengan koruptor yang lebih merugikan orang lain.

Menurut saya, rekonstruksi Syahrur terhadap pemahaman ayat muhkamat terbilang menjawab kesesuaian zaman. Produk hukum yang awalnya terkesan mutlak oleh ulama’ klasik diperluas cara pandangnya dengan batas atas dan batas bawah. Namun beberapa pendapatnya juga kontroversial seperti tidak menganggap al-sunnah sebagai kesakralan melainkan informasi kainunah penurunan ayat. Pertanyaan yang muncul “Bagaimana proses landasan hermeneutika Syahrur sehingga dapat menghasilkan teori Nazariyyah al-Hudud?”

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Labels