Senin, 16 Oktober 2017

Epistimologi Tafsir Modern Kontemporer

Dalam khazanah MadzahibutTafsir, periode Tafsir Modern Kontemporer dimulai dari abad 12 H/ 18 M sampai abad 14 H/21 M. Tafsir Modern Kontemporer muncul untuk menanggapi permasalahan yang muncul pada Tafsir Klasik dan Pertengahan. Misalnya, tafsir kurang tepat jika dipahami dengan ideolgis sektarian. Tafsir Modern Kontemporer disebut juga dengan era reformatif bernuansa hermeneutis dan berdasarkan nalar kritis untuk mengkritisi produk-produk tafsir era sebelumnya yang tidak kompatibel dengan modernitas.

Lebih lanjut, Tafsir Modern Kontemporer perlu dikenali lebih dulu epistimologinya bahwa tafsir tersebut dibangun dengan beberapa hal, yaitu sumber penafsiran, metode dan pendekatan, validitas, karakeristik dan tujuan. Maksud Epistimologi yaitu unsur-unsur yang membangun atau membentuk suatu ilmu yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenisnya. 

1. Sumber Penafsiran
Penafsiran era Modern Kontemporer bersumber dari Al-Qur’an, akal, dan realitas yang berdialektika (tesis anti tesis) secara singular maupun partikular. Posisi ketiganya bukan saling menghegemoni melainkan melengkapi satu sama lain terus menerus berdialog tanpa final. Dalam paradigma hermeneutika dikenal istilah the world of text, the world of author, dan the world of reader. 

Baik teks maupun mufassir tidak saling mendominasi dalam menyingkap pesan untuk menanggapi permasalahan umat. Jadi, teks Al Qur’an tidak lagi dianggap sebagai teks yang mati seperti yang diterapkan pada masa klasik dan pertengahan melainkan hidup dalam ruang dan waktu. Pada masa ini, hadits jarang digunakan sebagai inti dari sumber penafsiran melainkan hanya untuk penguat dan penjelas.
2. Metode dan Pendekatan
Metode yang digunakan pada era Modern Kontemporer berbeda dengan era klasik dan pertengahan. Jika pada era klasik dan pertengahan umunya cenderung memakai metode tematik dan analitis yang bersifat atomistik, maka tafsir modern kontemporer memakai metode dan pendekatan interdisipliner berupa tematik-kontekstual, hermeneutik, linguistik, semantik, sosio-historis dan lain-lain. Interdisipliner di sini mengacu pada fokus kajian yang didalami mufassir dengan paradigma integrasi-interkoneksi ilmu lain untuk menjawab perkembangan umat.

Salah satu metode dan pendekatan interdisipliner yaitu tematik-kontekstual diamalkan oleh Fazlur Rahman. Ia berpendapat bahwa pesan sesungguhnya yang disampaikan oleh Al Qur’an bukan terbatas pada ungkapan harfiah melainkan ideal-moral yang ada  dibalik ungkapan tersebut. Selain itu, untuk mengungkap makna objektif teks, Rahman menawarkan hermeneutika double movement bahwa untuk menafsirkan Al Qur’an dibutuhkan pemahaman dari masa sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan kemudian ditarik kesesuaian dengan masa sekarang.

3. Vailiditas penafsiran
Dalam perkembangan dewasa ini, suatu ilmu harus dibuktikan validitas kebenarannya sebagai tolak ukur ilmu tersebut dapat diterima atau tidak. Tidak terkecuali dalam penafsiran, tolak ukur tafsir Modern Kontemporer dikatakan benar apabila memenuhi teori koherensi, korespondensi, dan pragmatis. 
a. Koherensi : penafsiran dapat diterima apabila ia sesuai dengan proposisi-proposisi sebelumnya dan konsisten menggunakan metodologi penafsiran. 
b. Korespondensi : cocok dan sesuai dengan fakta ilmiah empiris di lapangan.
c. Pragmatis : memberikan solusi alternatif problem sosial sesuai dengan kepentingan transformasi umat.

4. Karakteristik dan Tujuan
Karakteristik penafsiran Modern Kontemporer dibangun dari pendapat Muhammad Abduh bahwa tafsir harus berfungsi sebagai sumber petunjuk  demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Atas dasar tersebut, tafsir Modern Kontemporer cenderung memiliki karakter yang kritis, transformatif, solutif, dan non ideologis. Kebanyakan mufassir masa ini mengamalkan paradigma hermeneutika dengan memperluas beragam pandangan namun tetap fokus pada tujuan menyingkap makna.

Tujuan mufassir masa ini pada dasarnya sebagai transformasi dan perubahan. Kebanyakan paradigma yang terbentuk pada mufassir klasik dan pertengahan menganggap penafsiran telah selesai pada pengungkapan makna. Padahal, Al Qur’an tidak cukup dimaknai secara general dalam menjawab permasalahan dan kerumitan dewasa ini. Maka, sangat perlu untuk meneruskan bagaimana penafsiran dianggap signifikan agar tercapainya Ruh Al Qur’an. 

Dengan ini, upaya mufassir kontemporer dalam mengungkap nilai universal Quran dapat tercapai bahwa Al Qur’an Shalih li kulli zaman wa makan. Beberapa nilai universal yang kerap dibincangkan adalah nilai kebebasan, humanistik, keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia dan sebagainya. Nilai-nilai inilah yang ingin ditekankan oleh Al Qur’an melalui berbagai ayatnya menghendaki dilakukannya pembebasan budak, pengangkatan derajat perempuan, dan lain-lain.

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2014, 145-194 (Tabel hlm. 188-189).

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Labels