Senin, 16 Oktober 2017

Pemikiran Tafsir Kontemporer: Muhammad Syahrur

Hermeneutika Syahrur berlandaskan pada pembagian proses memahami dalam tiga unsur, yaitu kainuunah (berada), sairuurah (proses), dan shairuurah (menjadi). Pemahaman harus didasari pada keadaan penurunan teks yang berkembang melalui proses zaman klasik dan pertengahan kemudian membumi pada keadaan sekarang sebagai tujuan. Contohnya, Syahrur mencoba merekonstruksi ayat muhkamat bahwa ketentuan produk fiqh yang disampaikan ulama’ klasik boleh jadi tidak relevan dengan zaman sekarang. Karena itu, al-sunnah nabi adalah model awal penafsiran dan bukanlah satu-satunya bentuk aplikasi hukum yang sesuai sepanjang masa.

Elastisitas pemahaman dan penerapan umm al-kitab diaplikasikan pada teori Nazariyyah al-Hudud bahwa legitimasi hukum dibagi atas dua batas (al-hadd al-a’la dan al-hadd al-adna). Al-hudud mengandung arti “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tetapi masih terdapat pintu ijtihad yang elastis, fleksibel, dan dinamis”. Syahrur memandang hukum potong tangan bagi pencuri dalam Q.S. Al Maidah: 38 adalah ketentuan batas maksimal sementara batas minimal adalah dimaafkan. Di sinilah ruang ijtihad ditemukan bahwa perlu untuk menimbang seberapa besar tingkat kesalahan. Tentu berbeda hukuman pencuri jajanan pasar dengan koruptor yang lebih merugikan orang lain.

Menurut saya, rekonstruksi Syahrur terhadap pemahaman ayat muhkamat terbilang menjawab kesesuaian zaman. Produk hukum yang awalnya terkesan mutlak oleh ulama’ klasik diperluas cara pandangnya dengan batas atas dan batas bawah. Namun beberapa pendapatnya juga kontroversial seperti tidak menganggap al-sunnah sebagai kesakralan melainkan informasi kainunah penurunan ayat. Pertanyaan yang muncul “Bagaimana proses landasan hermeneutika Syahrur sehingga dapat menghasilkan teori Nazariyyah al-Hudud?”

Share:

Pemikiran Tafsir Kontemporer: Jasser Auda

Pada awalnya, al Maqashid merupakan upaya solutif untuk mencapai Human development (pembangunan manusia) dan merealisasikan hak asasi manusia. Beberapa bentuk hasil al Maqashid disampaikan oleh Ibn Asyur yang mengkonstruksi teori hukum pidana Al Juwayni dan teori perlindungan Al Amiri menjadi sistem tata nilai moral hukum Islam menyangkut keluarga. Kontribusi ini menghadirkan pengembangan al Maqashid dalam nuansa kontemporer khususnya hukum Islami. 

Selanjutnya, term al Maqashid digunakan untuk memperbarui pemikiran Islam dalam ranah ijtihad dan teori hukum Islam, seperti konsiliasi pada perdebatan ta’arud dan tanaqud. Metode pemecahan kontradiksi dalil-dalil yang shahih sering dijumpai dalam kajian hadis, yaitu al-Jam’u, al-naskh, al-tarjih, al-tawaqquf, al-tasaqut, dan al-takhyir. Jasser Auda menekankan fokusnya pada metode al-naskh bahwa oleh ulama klasik tidak menggunakannya secara tepat. Hal ini dimungkinkan karena perspektif yang kurang luas dalam memahami masalah. Ia berusaha mendamaikan kontradiksi lahiriyah dalil shahih dengan menghadirkan sarana dan maksud bagaimana argumentasi nasakh-mansukh itu dipakai oleh para ulama’.

Dari pembacaan dan pemahaman saya, al Maqashid berperan penting dalam pembaharuan hukum Islam. Seperti halnya yang disampaikan dalam buku bahwa keprihatinan terhadap rendahnya Human development ditemui pada negara-negara yang berbasis hukum Islam. Saya mengira hal ini beralasan bukan karena umat muslim tidak mengkaji hukum melainkan kurang memperluas pengetahuan berbagai aspek pada zaman kontemporer ini. Pertanyaan yang muncul sekaligus kritik saya terhadap al Maqashid adalah “Bagaimana ukuran memahami kontradiksi dengan pendekatan al Maqashid tidak sampai digunakan secara ngawur oleh pihak tertentu karena dalam metodenya terkesan fleksibel dan ‘menggampangkan’?”

Share:

Pemikiran Tafsir Kontemporer: Abdullah Saeed dan Fazlur Rahman

Pemikiran yang ditawarkan Abdulah Saeed mengenai pewahyuan Al Qur’an berbeda dengan tradisi klasik yang menyatakan bahwa Muhammad tidak berperan dalam membentuk makna dan maksud ayat. Ia memperluas tahapan proses pewahyuan menjadi empat level. Pertama, Proses pewahyuan kalam ilahi ke Lauh al Mahfudh kemudian turun ke langit dengan perantara Ruh (Jibril). Kedua, pewahyuan dalam hati Muhammad disertai kontekstualisasi terhadap sosial dan sejarah Arab ketika Al Qur’an dikomunikasikan. Ketiga, aktuliasasi wahyu Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Keempat, elaborasi penafsiran yang berkembang tidak terlepas dari petunjuk Tuhan. Atas dasar ini, kontekstualisasi menurut Saeed adalah studi serius memahami pesan dasar Al Qur’an yang diaplikasikan terhadap konteks makro asli dan konteks makro kontemporer.

Langkah penafsiran Al Qur’an kontekstual yang disusun oleh Abdullah Saeed, yang sebagian besar dipengaruhi oleh Fazlur Rahman sangat detail dan komprehensif. Tahapan-tahapannya yang saya simpulkan dalam beberapa poin. Pertama, kritik terhadap dunia mufassir, teks, dan reader. Kedua, menelusuri kesahihan teks berbahasa Arab. Ketiga, identifikasi makna teks dengan berbagai kajian penting. Keempat, mengaitkan penafsiran dengan konteks kini.

Kontekstualisasi Abdullah Saeed sangat menarik dan memperhatikan banyak hal. Dibutuhkan integrasi-interkoneksi berbagai keilmuan interdisipliner untuk menghasilkan penafsiran yang utuh. Namun juga menyulitkan mufassir yang dituntut menguasai keilmuan yang bermacam-macam. Terlebih lagi, kesalahan kecil yang luput terjadi dalam salah satu tahapan dapat mengubah hasil penafsiran akhir. Dari pembacaan saya di atas, muncul pertanyaan “Bagaimana metode penafsiran yang ditawarkan Abdullah Saeed dapat diterapkan terhadap ayat-ayat yang bukan berbasis hukum seperti ayat tentang hari kiamat dan mukjizat rasul?”

Share:

Pemikiran Tafsir Kontemporer: Nasr Hamid Abu Zayd

Banyaknya pemikiran baru yang muncul sebagai kritik ideologi tafsir klasik dan pertengahan diproduksi dari kompleksitas permasalahan di zaman sekarang. Salah satunya, kritik Nasr Hamid Abu Zayd dalam memandang teks Al Qur’an yang kita baca saat ini bukan wahyu ilahi yang turun dari langit melainkan wahyu yang telah disaring oleh Muhammad dan diekspresikan secara linguistik.  Konsekuensi yang terjadi jika teks Al Qur’an adalah wahyu ilahi tentu hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu sementara masyarakat umum dengan tingkat intelektual berbeda membutuhkan jawaban dari permasalahan mereka. Atas dasar ini, pengungkapan makna wahyu ilahi dapat tercapai dengan menggunakaan pendekatan linguistik melalui kritik sastra.

Selain sisi linguistik, Abu Zayd menerangkan penting untuk mengkaji teks Al Qur’an dalam sisi sejarah dengan konsep dalalah (makna) dan maghza (kepentingan). Al Qur’an mempunyai dalalah yang tidak mungkin diungkapkan tanpa pemahaman konteks internal linguistik teks dan sosial-budayanya, sementara sisi maghza merupakan hasil pembacaan yang berbeda dengan masa terbentuknya teks. Makna secara relatif memiliki watak yang stabil dan mapan, sementara kepentingan bersifat dinamis seiring pembacaan yang terus berubah.  Pemahaman yang dimaksud oleh Al Qur’an merupakan hasil dari penangkapan dalalah dan maghza secara dialektis terus menerus.

Dari pembacaan terhadap tulisan mengenai Nasr Hamid Abu Zayd, saya merasa susah menggambarkan dialektika dalalah dan maghza. Sedikit yang saya pahami bahwa makna Al Qur’an dapat dicapai dengan mengetahui konteks sejarah dan sosial budaya ketika ayat turun kemudian dihubungkan dengan kepentingan zaman yang dinamis. Alat yang ditawarkan oleh Abu Zayd adalah pendekatan linguistik melalui kritik sastra. Kemudian, muncul pertanyaan apakah kemampuan linguistik yang tinggi disertai kontekstualisasi sejarah itu cukup dalam menafsirkan Al Qur’an tanpa memperhatikan kajian lain seperti hukum, aqidah, fiqh, dan lainnya?

Share:

Pemikiran Tafsir Kontemporer: ‘Adabi Ijtima’i Muhammad Abduh

Menurut Hussain Al-Dzahabi, Tafsir ‘Adabi Ijtima’i adalah tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkanya Al Qur’an kemudian mengaplikasikannya pada tatanan kehidupan sosial.  Istilah ini muncul setelah Muhammad Abduh sebagai pembaharu keilmuan dalam Islam khususnya bidang Tafsir. Dalam karya Abduh baik tafsir Juz ‘Amma dan tafsir Al Qur’an al Hakim(bersama Rasyid Ridha), Ia tidak menyebutkan istilah ‘Adabi Ijtima’i. Pengistilahan tersebut mempresentasikan metode tafsir Al Manar yaitu dengan menjelaskan ketinggian gaya bahasa (i’rab, balaghah) kemudian makna tersebut diberlakukan dengan kehidupan manusa. 

Dalam pandangan Jansen, tidak ada tafsir baru yang muncul di abad 19, sejak itu Abduh dan Ridha menggagas kembali jalan produktivitas tafsir abad 19 dengan dasar pemikiran yang baru. Kebanyakan mufasir klasik menguraikan penjelasan detail terhadap kata, tata bahasa Arab, dogma muslim, hukum, dan sunnah nabi menjadi ensiklopedia ilmu tersebut.   Sedangkan Abduh ingin memposisikan bahwa Al Qur’an sebagai sumber petunjuk (masdar hidayah).  Menurut pandangan Abduh, Al Qur’an tidak hanya berisi menjadi sumber hukum Islam maupun dogma, atau sebuah kesempatan mufasir untuk beradu intelektual, melainkan sebuah kitab yang mana umat muslim dapat memperoleh pengetahuan tentang dunia ini dan dunia mendatang. 

Menurut yang saya pahami tentang sosok Abduh bahwa Ia merupakan tokoh pembaharu yang diperhitungkan dalam diskursus Islam khususnya pada masa modern kontemporer. Latar belakangnya yang bukan seorang ahli teori melainkan aktifis yang mendukung langsung gerakan pembaharu menjadikan pemikiran baru dalam bidang tafsir. Kemungkinan fokus kajian Abduh terhadap sosial karena permasalahan yang terjadi di Mesir saat itu, yaitu rendahnya nilai moral dan sopan santun. Cita-citanya menjadikan Al Qur’an sebagai kitab hidayah merupakan kritik terhadap mufasir klasik namun ini sekaligus merupakan apresiasi terhadap ilmuwan. 

Share:

Epistimologi Tafsir Modern Kontemporer

Dalam khazanah MadzahibutTafsir, periode Tafsir Modern Kontemporer dimulai dari abad 12 H/ 18 M sampai abad 14 H/21 M. Tafsir Modern Kontemporer muncul untuk menanggapi permasalahan yang muncul pada Tafsir Klasik dan Pertengahan. Misalnya, tafsir kurang tepat jika dipahami dengan ideolgis sektarian. Tafsir Modern Kontemporer disebut juga dengan era reformatif bernuansa hermeneutis dan berdasarkan nalar kritis untuk mengkritisi produk-produk tafsir era sebelumnya yang tidak kompatibel dengan modernitas.

Lebih lanjut, Tafsir Modern Kontemporer perlu dikenali lebih dulu epistimologinya bahwa tafsir tersebut dibangun dengan beberapa hal, yaitu sumber penafsiran, metode dan pendekatan, validitas, karakeristik dan tujuan. Maksud Epistimologi yaitu unsur-unsur yang membangun atau membentuk suatu ilmu yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenisnya. 

1. Sumber Penafsiran
Penafsiran era Modern Kontemporer bersumber dari Al-Qur’an, akal, dan realitas yang berdialektika (tesis anti tesis) secara singular maupun partikular. Posisi ketiganya bukan saling menghegemoni melainkan melengkapi satu sama lain terus menerus berdialog tanpa final. Dalam paradigma hermeneutika dikenal istilah the world of text, the world of author, dan the world of reader. 

Baik teks maupun mufassir tidak saling mendominasi dalam menyingkap pesan untuk menanggapi permasalahan umat. Jadi, teks Al Qur’an tidak lagi dianggap sebagai teks yang mati seperti yang diterapkan pada masa klasik dan pertengahan melainkan hidup dalam ruang dan waktu. Pada masa ini, hadits jarang digunakan sebagai inti dari sumber penafsiran melainkan hanya untuk penguat dan penjelas.
2. Metode dan Pendekatan
Metode yang digunakan pada era Modern Kontemporer berbeda dengan era klasik dan pertengahan. Jika pada era klasik dan pertengahan umunya cenderung memakai metode tematik dan analitis yang bersifat atomistik, maka tafsir modern kontemporer memakai metode dan pendekatan interdisipliner berupa tematik-kontekstual, hermeneutik, linguistik, semantik, sosio-historis dan lain-lain. Interdisipliner di sini mengacu pada fokus kajian yang didalami mufassir dengan paradigma integrasi-interkoneksi ilmu lain untuk menjawab perkembangan umat.

Salah satu metode dan pendekatan interdisipliner yaitu tematik-kontekstual diamalkan oleh Fazlur Rahman. Ia berpendapat bahwa pesan sesungguhnya yang disampaikan oleh Al Qur’an bukan terbatas pada ungkapan harfiah melainkan ideal-moral yang ada  dibalik ungkapan tersebut. Selain itu, untuk mengungkap makna objektif teks, Rahman menawarkan hermeneutika double movement bahwa untuk menafsirkan Al Qur’an dibutuhkan pemahaman dari masa sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan kemudian ditarik kesesuaian dengan masa sekarang.

3. Vailiditas penafsiran
Dalam perkembangan dewasa ini, suatu ilmu harus dibuktikan validitas kebenarannya sebagai tolak ukur ilmu tersebut dapat diterima atau tidak. Tidak terkecuali dalam penafsiran, tolak ukur tafsir Modern Kontemporer dikatakan benar apabila memenuhi teori koherensi, korespondensi, dan pragmatis. 
a. Koherensi : penafsiran dapat diterima apabila ia sesuai dengan proposisi-proposisi sebelumnya dan konsisten menggunakan metodologi penafsiran. 
b. Korespondensi : cocok dan sesuai dengan fakta ilmiah empiris di lapangan.
c. Pragmatis : memberikan solusi alternatif problem sosial sesuai dengan kepentingan transformasi umat.

4. Karakteristik dan Tujuan
Karakteristik penafsiran Modern Kontemporer dibangun dari pendapat Muhammad Abduh bahwa tafsir harus berfungsi sebagai sumber petunjuk  demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Atas dasar tersebut, tafsir Modern Kontemporer cenderung memiliki karakter yang kritis, transformatif, solutif, dan non ideologis. Kebanyakan mufassir masa ini mengamalkan paradigma hermeneutika dengan memperluas beragam pandangan namun tetap fokus pada tujuan menyingkap makna.

Tujuan mufassir masa ini pada dasarnya sebagai transformasi dan perubahan. Kebanyakan paradigma yang terbentuk pada mufassir klasik dan pertengahan menganggap penafsiran telah selesai pada pengungkapan makna. Padahal, Al Qur’an tidak cukup dimaknai secara general dalam menjawab permasalahan dan kerumitan dewasa ini. Maka, sangat perlu untuk meneruskan bagaimana penafsiran dianggap signifikan agar tercapainya Ruh Al Qur’an. 

Dengan ini, upaya mufassir kontemporer dalam mengungkap nilai universal Quran dapat tercapai bahwa Al Qur’an Shalih li kulli zaman wa makan. Beberapa nilai universal yang kerap dibincangkan adalah nilai kebebasan, humanistik, keadilan, kesetaraan, hak asasi manusia dan sebagainya. Nilai-nilai inilah yang ingin ditekankan oleh Al Qur’an melalui berbagai ayatnya menghendaki dilakukannya pembebasan budak, pengangkatan derajat perempuan, dan lain-lain.

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2014, 145-194 (Tabel hlm. 188-189).

Share:

Refleksi Film Tai Chi Zero dan Tai Chi Hero

Baik film Tai Chi Zero maupun Tai Chi Hero memberikan pelajaran berharga dalam menghadapi kenyataan di masyarakat. Pesan keduanya tidak berbeda jauh dalam hal perbenturan tradisi dan modernitas. Hanya saja bumbu-bumbu berbeda disajikan di film pertama dengan karakter aktor utama yang heroik sedangkan di film kedua cenderung dengan roman dan family yang kental.

Dari yang saya tonton, modernitas pada film pertama benar-benar ditolak bahkan orang-orang desa tersebut bersama tetua mereka sepakat tidak menggunakannya. Kesan awal yang muncul, peralatan barat memberikan kemudahan dan solusi jitu namun sekaligus juga membahayakan. Ditambah lagi dengan penyalahgunaan mesin pembuat rel untuk menghancurkan desa. Dalam film kedua, modernitas yang disimbolkan dengan “sayap surga” sebaliknya menjadi penyelamat di saat buntu. Maka, menurut hemat saya modernitas itu harus digunakan dengan baik dan selektif.

Dalam khazanah kajian Al Qur’an, modernitas salah satunya berupa desakralisasi pemikiran agama yang dianggap masih tabu menurut masyarakat awam. Padahal maksud desakralisasi ini tidak mengacu pada Al Qur’an kalamullah yang suci melainkan pemikiran maupun penafsiran manusia yang relatif. Gagasan penggunaan hermeneutika juga sering ditolak karena identik dengan metode penafsiran Bible sehingga masyarakat muslim anti akan hal tersebut. Selain itu, lebih ekstrim lagi muncul pendapat “the death of author”. Namun upaya hermeneutis justru sangat dibutuhkan untuk menyingkap pesan Qur’ani sesungguhnya seperti yang ditawarkan teori double movement Fazlur Rahman. 

Share:

Makna Syari’ah, Ushul Fiqh dan Fiqh

A.Syari’ah
Menurut etimologi atau bahasa, Syari’at berarti al-thariqah al-sunnah; atau jalan dan juga dapat diartikan sumber mata air yang  hening bening . Sedangkan terminology atau istilah yang umumnya dipakai oleh para ulama salaf, dalam memberikan batas pengertian syari’at Islam sebagai suatu pedoman hidup dan ketetapan hukum yang digariskan oleh Allah SWT . 

Syari’ah sering juga disebut syara’, yaitu aturan yang dijalani manusia, atau suatu aturan agama yang wajib dijalani oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun kelak di akhirat . Syari’at secara umum adalah segala aturan hukum yang diwahyukan kepada para nabi berupa kitab suci seperti : Taurat, Zabur, injil dan Al-Qur’an.

Syari’at meliputi di dalamnya semua tingkah laku manusia , yang disandarkan pada wahyu Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dalam perkembangan hukum Islam dikenal ijtihad hal disandarkan kepada Fiqhi yang di dalamnya  termuat hukum hasil kecerdasan mengistimbatkan satu nilai hukum. Di dalam fiqh didapati suatu tindakan sah atau tidak sah, boleh atau tidak, sedangkan di dalam  syari’at didapati tindakan hukum boleh dan terlarang, harus diakui bahwa syari’at dan fiqh mempunyai perbedaan, tetapi dalam perkembangannya para ulama tidak terlalu prinsipil membedakannya.

B.Ushul Fiqh
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqih dapat dilihat dari dua aspek: Ushul Fiqih kata majemuk (murakkab), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqih berasal dari dua kata, yakni kata Ushul adalah bentuk plural dari kata ashl dan kata Fiqih, yang masing-masing memiliki pengertain luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan”.

Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
1)Dalil, yakni landasan hukum, seperti pernyataan para ulama ushul fiqih bahwa ashl dari wajib shalat lima waktu  adalah firman Allah SWT dan Sunah Rasul.
2)Qa’idah, yaitu dasar atau fondasi sesuatu, seperta sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi)”.
3)Rajah, yakni terkuat, seperti dalam ungkapan ushul fiqih: “yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakekatnya”.
4)Maksudnya, yakni menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
5)Mustashhab, yakni memperlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya seseorang yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau ikatan perkawinannya?. Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup sebelum ada berita tentang kematiannya. Ia tetap terpelihara haknya seperti tetap mendapatkan warisan, begitu juga ikatan perkawinannya dianggap tetap.
6)Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul ”anak adalah cabang dari ayah”.

Dari situ dapat dipahami bahwa ushul fiqh sebuah ilmu tentang kaidah dan dalil-dalil umum yang digunakan untuk mencetuskan hukum fiqh sesuai cakupan kaidah dan dalil itu. Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri. 

Menurut Istilah yang digunakan oleh para ahli, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. 

Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.

C.Fiqh
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah yang artinya:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78). 

Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

Referensi :
Rachmat, Syafe’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media
Zaidan, Abdul Karim. 2008. Pengantar Studi Syariah : Memahami Syari’ah Islam Lebih dalam. Jakarta: Robbani Press.
Share:

Review Jurnal Syeikh Syihabuddin Aek Libung

Biografi Syeikh Syihabuddin Aek Libung
Syekh Syihabuddin, bermarga Nasution lahir pada tahun 1311 H/1892 SM di Muara Lingkumas, Sulangaling, Batang Gadis, Mandailing, dan meninggal pada tahun 1967 SM. Syhabuddin dan keluarganya tinggal di Muara Lingkumas, kemudian mereka pindah ke Bandar Labuhan Deli Serdang pada tahun 1328 H/1910 SM. Pada tahun 1332 H/ 1914 SM mereka pindah lagi ke desa Sulangaling Ranto Panjang. Di daerah ini ayahnya, Rowani al-Khalidi Naqsabandi, mendirikan tempat persulukan di desa Muara Aek Ban Bun Sulang Aling, Maidaling.

Syhabuddin memulai belajar al-qur’an, kitab, dan pengajaran ahlussunah wal jamaah pada ayahnya, Rowani al-Khalidi Naqsabandi. Pada umur 15 tahun dia juga belajar tarekat Naqsabandi ayahnya, dan pada umur 20 tahun dia mengikuti tarekat atau mysticism pada tahun 1914 Syihabuddin mendapat ijazah dari persulukan ayahnya. Kemudian dia mengajarkan tarekat Naqsabandi di beberapa tempat sperti di Angkola, Mandaling, Deli, dan Serdang.

Kemudian Syihabuddin belajar persulukan di Kumpulan, Minangkabau, Sumatra Barat, dimana Syekh Ibrahim al-Khalidi Naqsabandi meninggal. Dia belajar kepada Syekh Abdul Jabar al-Khalidi Naqsabandi (khalifah syekh Ibrahim Kumpulan) dan dia mendapat ijazah dari persulukannya. Akhirnya pada tahun 1337 H/1919 M Syihabuddin pindah ke Aek Libung (Sani-Sani), Sayurmatinggi (sekarang termasuk daerah Tapanuli Selatan). Desa ini pertama kali di buka pada tahun 1915, termasuk Syekh Syihabuddin yang pertama kali tinggal disana, tapi nampaknya dia belum pindah sepenuhnya dari desa sebelumnya yaitu dari daerah, Sulang Aling Ranto Panjang. Pada saat itu kepala desa Kuria adalah Sultan Kumala di Sayurmatinggi Angkola Jae.

Pada tahun 1339 H/1992 SM, Syihabuddin pergi ke Makkah untuk mendalami ilmunya. Dia belajar kepada Jabal Abi Qubais dari syekh Ali Ridho, anak dan khalifah dari Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi Naqsabandi, dan dia mendapat ijazah Naqsabandi darinya, sehingga dia mendapat julukan Syekh Syihabuddin al-Khalidi Naqsabandi. Setelah kepulangannya dari Makkah dia mendirikan tarekat di Tapanuli selatan sampai wafat pada tahun 1967 di Aek Libung (Syihabuddin: t.th. b:64-69).
Dengan menggunakan pendekatan genealogi, ditemukan bahwa nama lengkapnya adalah Syihabuddin bin Rowani bin Mangindal bin Maharaja Manambir. Kutipan ini disebutkan dalam isi dan penutup kitab adab al-muridin. Demikian disebutkan juga dalam Buku Sejarah dan halaman akhir kitab Fath al-Qalb. 

Syekh Syihabuddin (1967) merupakan ulama’ yang memiliki peran penting dalam membentuk masyarakat melalui aktivitas religi di beberapa tempat, sehingga dia di kenal dan di juluki dengan banyak gelar, al-fakir, syekh, dan al-‘alim al-‘allamah. Dia juga ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan indonesia bersama dengan ulama’-ulama’ Mandailing yang lain dari kependudukan Belanda.

Paradigma Pemikiran Keagamaan
Syihabuddin, yang merupakan seorang murid dan khalifah dari Sheikh Mohammad Ali Ridha di Jabal Qubaisy, Mekah, mengatakan bahwa pilar (pondasi) agama ada 4 macam: iman, islam, tauhid (monoteisme), dan makrifah (Syihabbuddin: t.th.b. 69). Pemahaman dan pelaksanaan makrifah dalam hal ini harus didahului oleh pemahaman dan pelaksanaan dari iman, Islam, dan tauhid.

Pemahaman ini muncul dari ulama yang menyatukan antara ulama syari’ah dan sufi yang lebih memilih pengajaran khusus. Semangat dari rekonsiliasi, sebuah perkembangan keagamaan yang baru, yang sangat penting dalam perkembangan Islam. Kemudian semangat ini berkembang menjadi persulukan. Meskipun begitu, tentunya tidak bisa disimpulkan bahwa rekonsiliasi telah selesai, karena disana masih ada konflik yang tidak bisa dihindarkan.”Perpaduan baru” yang nantinya disebut dengan “Neo-Sufisme” (Fazlur Rahman: 1979, 193-196; Radtke: 1999, 162-173; Azra: 2004, 118-119).

Dalam praktek Sufisme, Syihabuddin digolongkan kepada aliran Naqsabadiyah. Aliran Naqsabandi  yang pelaksanaannya telah diikuti dan dikembangkan oleh Sheikh Syihabuddin, harus didahului dengan implementasi dari syari’ah/peribadahan (Syihabuddin: t.th.a, 43-44). Dalam bidang tauhid, Sheikh Syihabuddin menganut keyakinan yang dipeluk (i’tiqad) dari Ahlu Sunnah wal Jama’ah. 

Adab Muridin dan Fath al-Qalb
Buku ini ditulis dengan Arab-Melayu by Sheikh Syihabuddin dan selesai pada jum’at, tanggal 1 Ramadhan 1348 H. Berdasarkan naskah Sheikh Syihabuddin dan percetakan Pertjatimoer Medan, buku ini pertama kali dicetak sekitar tahun 1940 M. Adab al-Muridin, adalah koleksi dari salah satu cucunya yang bernama Mulkam bin Hussein bin Syihabuddin. Teks ini terdiri dari 64 halaman dan 26 halaman hilang. Halaman tersebut adalah halaman 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 18, 25, 26, 27, 28, 37, 38, 39, 40, 53, 54, 55, 56, 59, 60, 61, dan 62. 

Penulisan buku ini mengacu pada beberapa buku, dia tidak menjelaskan nama-nama buku, namun dalam pembahasannya tentang perilaku atau moral ia mengutip beberapa pernyataan dari al-Ghazali (Syihabuddin: t.th.a, 30, 31, 47, 48). Dia menyebutkan bahwa persiapan dimaksudkan untuk memudahkan praktek Sir al-Salikin, ditulis oleh Syeikh Abdussamad al-Palimbani (Syihabuddin: t.th.a, 63). Buku ini berisi tentang tauhid (sifat 20), fiqh (thaharah, sholat), pendidikan moral (perilaku anak-anak, adab terhadap sesama, hormat kepada guru, rumah tangga, dan sopan santun kepada orang tua), dan sufisme/tarekat.

Fath al-Qalb

Fath al-Qalb ditulis dengan Arab-Melayu dan diselesaikan oleh Syihabuddin pada tahun 1370 H (Syihabuddin: t.th.b, 69). Karya ini disusun atas permintaan dari murid dan sahabatnya, seperti diakui oleh pengarang.

Fath al-Qalb terdiri dari 72 halaman dan isinya dapat dibagi menjadi 6 bagian, Pertama: pengantar; Kedua: bagian membahas ilmu tauhid (pengertian hukum, sifat 20, ushuluddin, dan keyakinan yang optimis); Ketiga: bagian membahas ilmu fiqh (bersuci, berdo’a, beribadah, dan lain-lain); Keempat: bagian dari memperbanyak dhikrullah (aliran Naqsabandi, tasawuf, dan setiap hal yang berkaitan dengannya); dan Kelima: bagian menceritakan biografi pengarang, sampai ia belajar di Mekah; dan bagian terakhir adalah penutup.

Penulisan karya ini merujuk pada beberapa buku, dia tidak menjelaskan nama-nama dari bukunya, tapi dalam pembahasannya dia merujuk pada dua judul kitab: Kashf al-Asrar dan al-Hikam( karya Ibn Atha’illah) (Syihabuddin: t.th.b, 49 dan 63), dan merujuk pada kitab-kitab lain. Sehubungan dengan hukum, seperti contoh, pengarang menyebutkan Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i. Dalam pembahasan mengenai ushuluddin (theology) pengarang menyebutkan Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam pembahasan mengenai sufisme dan tarekat pengarang meruju atau menyebutkan Abu al-Wahhab al-Sya’rani, Mujahid, al-Ghazali, Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi, Abd al-Adhim al-Manduri (murid dari Abd al-Hamid Dal Daghistan), Khalid al-‘Utsman al-Kurdi Naqsabandi al-Mujaddidi, Shah Bahauddin Naqshabandi, Ubaydullah Abdullah Ibn al-Mujaddidi Naqsabandi Afandi al-Khalidi, Bardah, Abu al-Hasan al-Syadzili, ‘Abd al-Qadir al-Gilani, dan ‘Ibn ‘Atha’illah (Syihabuddin: t.th.b, 45, 48, 49, 50, 52, 54, 62, dan 63).

Buku ini, tampaknya dimaksudkan sebagai lanjutan dari esai sebelumnya, Adab al-Muridin yang ditulis pada 1940 M. yang dinyatakan dalam pendahuluan Fath al-Qalb.

Pemikiran Sufisme Syihabuddin Aek Libung
Tasawuf (Mistisme)

Ilmu Syari’ah dari Nabi Muhammad dibagi menjadi tiga cabang ilmu, yaitu fiqh (hukum), ushuluddin, dan tasawuf (mistisme) bisa disebut persulukan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Dalam hal ini, fiqh dipengaruhi oleh imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, Ushuluddin dipengaruhi oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan tasawuf dipengaruhi oleh Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi.

Wajib ‘ain menurut ilmu mistis adalah mempelajari tingkatan-tingkatan untuk membersihkan hati dari semua sifat tercela, seperti ujub, riya, iri hati, takabbur, dan sifat-sifat tercela lainnya. Begitupun juga harus menghiasi diri dengan akhlak mulia, seperti zuhud, wara’, ikhlas, tawadhu, sabar, ridha, syukur, dan akhlak mulia lainnya (Syihabuddin t.th.b. 45)

Tingkatan tertinggi adalah ma’rifatullah, yaitu mengenal Allah SWT dengan cahaya iman dalam hati. Untuk sampai ma’rifatullah, manusia harus belajar qasad semata-mata karena Allah SWT, dan mematuhi perintah Allah SWT; meningkatkan sisi dhahir dengan ibadah kepada Allah; menghiasi hati dengan akhlak mulia; membersihkan diri dari segala sifat tercela; dan selalu menghadirkan hati untuk Allah SWT (Syihabuddin: t.th.b., 46-47).

Tarekat dan suluk
Menurut Syeikh Syihabuddin, ilmu tarekat dan suluk adalah ilmu hati, yang mengenali segala penyakit hati, seperti riya, ujub, takabbur, iri hati, dan sifat tercela lainnya serta menghiasi hati dengan sifat yang baik, seperti ikhlas, jujur, zuhud, wara, tawadhu, dan sifat baik lainnya (Syihabuddin: t.th.b., 65).

Berdasarkan pendekatan ilmu ini, tarekat sudah ada sejak zaman sahabat oleh Abu Bakr al-Siddiq langsung dari nabi Muhammad. Kemudian turun-temurun sampai ke Shah Bahauddin Naqshabandi pada 16 garis keturunan. Kemudian sampai ke Quthb al-Haramain al-Syarifain al-Sayyid al-Sharif Ubaydullah Abi Abdullah al-Naqshabandi Affandi al-Mujaddidi al-Khalidi pada 15 garis keturunan. sehingga Abdullah affandi menempati silsilah yang ke-31 yang dimulai dari Nabi Muhammad. Maka, Pelaksanaan persulukan masih berpegang pada prinsip-prinsip syariah dari Muhammad Nabi (istiqamah ‘ala al-syaria al-Ghara’) (Syihabuddin: t.th.b., 57)

Tarekat Naqshabandi menganut dua prinsip dasar (qaedah), yaitu:
1.Berpegang teguh pada sunnah nabi Muhammad baik perkataan, ketetapan, maupun perbuatan, yang disebut istiqamah ala al Ghara syariah, yang berarti untuk berpedoman pada syariah yang agung;
2.Cinta terhadap Mursyid yang didapat dari persulukan, yang disebut rabithah, Ia menghubungkan hatinya dengan gurunya (Syihabuddin: t.th.b., 44) 

Salik adalah orang yang sungguh-sungguh (ijtihad) beribadah kepada Allah dengan riyadhah disebut mujahadah. Ibadah Riyadhah adalah menahan hawa nafsu, seperti berkhalwat, puasa, dan mengurangi makan, minum, tidur dan berbicara tidak ada gunanya. Selain itu juga menjalankan semua wirid yang diberikan oleh syekhnya tanpa lalai serta tidak melanggar ibadah lainnya yang ditentukan oleh guru. Mujahadah adalah berjuang menolak dan melawan nafsu. Arif adalah orang yang ma’rifah terhadap Allah dan malaikat serta dapat membedakan antara khaliq dan makhluk (Syihabuddin: t.th.b., 48).

Dzikrullah adalah tanda iman, terlepas dari sifat kemunafikan, pertahanan setan, dan terbebas dari api neraka. Zikir dibagi menjadi tiga jenis:
1.Dzikir ism al-Zat yaitu lafadz Allah Allah.
2.Dzikir nafy itsbat yaitu La ilaha illa Allah.
3.Dzikir tahlil lil lisan
Sangat dianjurkan melakukan suluk selama 40 hari, 20 hari, 10 haru, atau beberapa hari. Jumlah 40 hari mengacu pada Muhammad nabi yang bersabda:
“Barangsiapa sembahyang lima waktu 40 hari secara berjama’ah, tidak tertinggal satu takbir al-ihram pun bersama imam, niscaya disuratkan baginya dua kelepasan, yaitu lepas dari sifat munafik dan lepas dari api neraka” (Syihabuddin: t.th.b., 57).
Ketika salik melakukan serangkaian suluk, ia harus:
1.Mengurangi makan. Makan lebih sedikit berarti darah berkurang dalam hatinya, yang mana iblis menempati hati. Makan lebih sedikit bisa membersihkan dan menenangkan hati, menghasilkan hati yang lembut. Oleh karena itu, dapat membuka mata hatinya.
2.Mengurangi tidur di malam hari dan melakukan amal ibadah kepada Tuhan. Mengurangi tidur dapat memurnikan dan menjernihkan hati.
3.Lebih baik untuk menjauhi makanan yang bernyawa (daging).
4.Ingat dzikrullah ketika terjaga, tidur atau dalam pekerjaan, baik ketika sehat maupun sakit (Syihabuddin: t.th.b., 57-58).

Pelaksanaan Persulukan
Syeh Syihabuddin Aek Libung menyebarkan ajaran suluknya dipersulukan Aek Libung, Sayurmatinggi, Tapanuli Selatan. Penyebutan tempat atau penisbahan tempat kepada seseorang merupakan sebuah tradisi Islam yang telah berlangsung lama. Nama-nama tempat, bahkan kadang-kadang nama profesi, aliran/paham/mazhab keagamaan, atau sifat tertentu, menjadi kebiasaan yang turun temurun, yang dilekatkan pada ulama atau orang-orang tertentu. Setelah Syeh Syihabuddin Aek Libung wafat, ajaran suluk ini tidak hanya berhenti  sampai disitu, tetapi diteruskan oleh putra sulungnya Syeh Sulaiman. Setelah Syeh Sulaiman wafat persulukan Syeh Syihabuddin diteruskan oleh adiknya Syeh Husein, lalu diteruskan putranya Syeh Mulkan bin Husein.

Ajaran suluk Syeh Syihabuddin dapat dibilang fleksibel, karena suluk ini dapat dilakukan selama empat puluh hari, dua puluh hari, sepuluh hari, atau beberapa hari sesuai kemampuan salik (murid suluk). Suluk yang demikian itu bukan keinginan atau ide Syeikh Syihabuddin sendiri, namun didasarkan pada hadis nabi yang berbunyi “barang siapa yang sembahyang lima waktu selama empat puluh hari secara berjamaah, tidak tertinggal satu takbiratul ihrampun bersama imam, maka niscaya baginya memperoleh dua kebebasan, yaitu bebas dari sifat munafik dan bebas dari api neraka ”.

Syeh Syihabudin tidak sembarangan dalam merangkai ajaran suluknya, ia tetap berpegang teguh pada syariat. Seperti pendapatnya bahwa agama tidak hanya iman, tauhid dan makrifat tetapi juga syariat. Dalam melaksanakan suluk Syeh Syihabuddin menganjurkan kepada muridnya untuk senantiasa hadir (memusatkan perhatian kepada Allah) dan tidak menyia-nyiakan waktu alias mengunakan waktu dengan sebaik-baiknya, seperti kata pepatah arab “waktu itu laksana pedang, jika tidak kau patahkan maka ia akan mematahkaanmu”. Seorang salik (murid suluk) juga harus senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bersungguh-sungguh menjalankan syariat islam. Setelah itu seorang salik membaca istighfar dilanjutkan membaca surat al-fatihah, al-ikhlas, ayat kursi. Lalu dilanjutka membaca tasbih, shalawat dan salam kepada nabi Muhammad saw.
Syeh syihabuddin merumuskan ajaran suluknya dalam dua kitab karangannya, yaitu adab al-muridin dan fath al-qalb. Diakhir halaman kitab adab al-muridin syeh syihabuddin memberikan catatan yang isinya
1.Pelaksanaan suluk di persulukan runding dimulai pada malam jumat 13  syawal selama dua puluh hari atau sepuluh hari dan berakhir pada kamis 3 zulqai’dah.
2.Guru suluk dibimbing oleh seoarng khalifah samin dan dapat suluk ditempat.
3.Deskripsi itu tanggal: sayur matinggi, 6 syawal 1369, Syihabuddin ayah syekh, dan dicap dengan cap bertuliskan Syeh Syihabuddin bin malim ....
4.spesifikasi telah disetujui oleh kepala desa sebagai negosiator, namanya kurang jelas dengan kata "pengetahuan dan persetujuan dan tanggal negosiator, 27/07/50"
5.di sisi kiri terdapat juga tulisan: "suluk di Runding pada 23 Zulhijjah 1371 panjang bagaimana kuasanya, ayah Syeikh Syihabuddin"

REVIEW

Penulis menyampaikan bahwa pemikiran Islam khususnya bidang tasawuf perlu untuk dikaji lebih dalam melalui pendekatan filologi dan pendekatan sosial. Hal ini sangat penting karena penelitian dan studi terhadap naskah dipandang kurang berkembang di Indonesia. Akibatnya, ulama’ nusantara terdahulu yang mengandalkan naskah sebagai sarana mengembangkan ilmu tidak dapat menyampaikan ide-ide pemikirannya.

Salah satunya adalah pemikiran syeikh Syihabuddin dan ulama’ Tapanuli lainnya. Kajian naskah juga memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan ilmu bagi ulama’ klasik. Mereka menulis sesuatu yang sederhana tetapi berisi tentang ilmu yang luas berupa topik-topik  yang sesuai dengan keadaan zaman. 

Dalam ajaran tasawuf, ijazah memiliki makna yang harus dilaksanakan bagi pengikut persulukan dari gurunya kemudian diberikan kepada murid-muridnya secara turun temurun. Maka, jika ditemukan ijazah saat ini yang berasal dari mursyid terdahulu seharusnya dapat diteliti dengan kajian filologi. Filologi mempelajari naskah baik dari segi objek material maupun teks yang terkandung.

Penulis ingin mengemukakan pemikiran syeikh Syihabuddin Aek Libung yang didapat dari naskah asli serta silsilah keilmuan yang dianut dari garis keturunan sebelumnya. Ditemukan bahwa syeikh Syihabuddin menjalankan tarekat Naqshabandi dan menganut faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Saat ini, kebanyakan golongan Islam di dunia khususnya di Indonesia mengaku menganut faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah karena disebutkan dalam hadits bahwa golongan ini adalah satu-satunya golongan yang selamat di akhirat kelak.

Penelitian ini bersumber pada kitab Adab al-Muridin karya syeikh Syihabuddin dan Fath al-Qalb yang diselesaikan syeikh Syihabuddin. Kitab ini berisi tentang teori ketuhanan, hukum fiqh, dan ajaran mistisme. Pemahaman tasawuf sangat kental bercorak Ahlu Sunnah wal Jama’ah dengan bukti bahwa syeikh Syihabuddin mengikuti pemikiran imam Junaidi al-Baghdadi. Demikian juga dalam teologi, Ia mengikuti pemikiran Abu al-Hasan al-Asy’ari yang diteruskan oleh al-Ghazali. 

Namun, pembaca tidak sepenuhnya memahami yang dimaksudkan oleh penulis. Kebanyakan istilah-istilah arab khususnya dalam tasawuf yang diterjemahkan dalam bahasa inggris, tidak tersampaikan dengan baik. Seperti, sincere (ikhlas), ascetic (zuhud), recitation (dzikr) serta istilah companions (sahabat). Pembaca lebih nyaman dengan istilah arab yang asli daripada terjemahan yang mempersempit makna bahkan menyelewengkan apa yang dimaksud.

Terdapat salah penulisan dalam kitab al-Hikam karya “Ibn ‘Atharullah” yang seharusnya Ibn ‘Athaillah. Dalam pendekatan filologi, penulis tidak menjelaskan tata cara lebih rinci bagaimana cara pengambilan atau penelitian naskah sehingga meragukan pembaca. Tidak disebutkan juga tempat ditemukannya kitab Fath al-Qalb.

Selain itu, pembaca juga berpendapat bahwa penulis lebih condong mendukung tarekat Naqshabandi dan faham Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Padahal sebagai ilmuwan seharusnya bertindak netral dalam memahami sebuah ilmu meskipun mayoritas orang mengikutinya. Hal ini dapat menyebabkan kesalah pahaman dari golongan atau penganut yang berbeda.

Sedangkan dalam referensi yang dirujuk, sepertinya kurang banyak. Akibatnya, penjelasan dari naskah kurang meluas dan inovatif. Seharusnya penjabaran dari pemikiran syeikh Syihabuddin dipadukan dengan pemikiran-pemikiran serupa dari tokoh lain atau dibandingkan dengan pendapat tokoh ulama’ klasik maupun kontemporer. 

Secara global, tulisan ini merupakan awal dobrakan baru untuk mempelajari ilmu dalam Islam dari sumber asli dengan kajian filologi di Indonesia. Kajian dalam agama Islam dipandang kurang objektif dan empiris menurut pemikiran barat. Kebanyakan dari ilmu islam menggunakan metode intersubjektif yang mengandalkan keyakinan. Maka, alangkah lebih baik untuk membuktikan bahwa pengetahuan yang dianut bersumber dari bukti asli yang bersambung dari ulama-ulama sebelumnya.



Share:

MENJADI MUSLIM MODERAT: Islam Indonesia dan Hubungan Kooperatif antar Agama

Zaman yang tengah kita hadapi dikenal dengan era globalisasi. Setiap orang berbeda dalam menanggapi dampak dari pengaruh barat ini. Ada yang sangat terbuka tanpa filter menyerap semua yang mereka tularkan. Ada juga yang fanatik pada kelompoknya sendiri hingga menjadi masyarakat yang jauh dari peradaban.

Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan sebagai warga Indonesia sekaligus umat muslim? Tentu pertanyaan yang membingungkan karena sangat berbeda antara nilai keduanya dengan pengaruh global. Maka dari itu, sepatutnya kita berpegang teguh pada Al-Qur’an Hadits dan Pancasila. 

Globalisasi sebagai suatu proses pada akhirnya akan membawa seluruh penduduk planet bumi menjadi suatu “world society” dan “global society”. Ibaratnya, kita adalah masyarakat yang menjadi satu dari seluruh kawasan di dunia. Contohnya, kita dapat berinteraksi dengan mudah yang jaraknya beribu kilometer hanya dengan fasilitas internet.

Sejarah membuktikan Islam pernah melalui masa kejayaan sekitar 9 abad yang lalu. Kemudian, dampak globalisasi ini harusnya menjadi jalan untuk membangkitkan kejayaan tersebut. Dalam hal ini, kita perlu melakukan langkah-langkah strategis agar tepat sasaran bukan sebaliknya terjebak dalam keterurukan.

Pertama, memahami hakekat globalisasi, sasaran, dampak, dan setiap bidang ilmu barat khususnya teknologi. Kedua, mengokohkan kesatuan internal dari umat muslim sendiri, baik itu dengan pokok ajaran agama atau hubungan sosial. Ketiga, akulturasi dengan menyerap metode yang berasal dari barat kemudian dipadukan dengan konsep-konsep keagamaan. 

Tak cukup dengan itu semua, pancasila harus dipegang teguh agar menjaga semangat nasionalisme bernegara Indonesia. Dengan ini, pemikiran terbuka dibutuhkan untuk memproses dimensi globalisasi, agama islam, dan pancasila Indonesia. Fleksibel adalah solusi yang tepat untuk keluar dari krisis kepercayaan.

Kerjasama antar umat beragama sangat mungkin terjadi jika mengesampingkan keegoisan fanatik untuk berupaya mencari solusi pengaruh global. Menjadi muslim moderat, maksudnya mampu menempatkan posisi kita dengan tepat terhadap konteks yang kita hadapi saat ini. Tidak terlalu keras atau tidak terlalu lembek menghadapi pengaruh luar. Sikap toleransi juga akan menjunjung tinggi nilai perbedaan sehingga menghormati satu sama lain. 

Menghadapi dunia yang sekarang sedang mengalami berbagai krisis fundamental, umat beragama memiliki tanggungjawab menciptakan tata kehidupan global yang lebih baik. Sekurang-kurangnya ada empat macam komitmen yang harus dipegang teguh dan dijadikan arahan bagi kerjasama antaragama di masa mendatang, yaitu:
1.Komitmen terhadap budaya non violence dan penghargaan terhadap kehidupan
2.Komitmen terhadap budaya solidaritas dan keadilan ekomomi
3.Komitmen terhadap budaya toleran dan hidup saling mempercayai
4.Komitmen terhadap budaya persamaan hak dan kemitraan antara laki-laki dan perempuan.
Share:

Negara dan Masyarakat : (ke Arah Indonesia Merdeka-M. Hatta & Lahirnya Pancasila-Soekarno)

Bung Hatta-Proklamator tercinta dalam tembang lagu Iwan Fals menghadirkan sosok yang sangat dirindukan bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, Beliau sangat berjasa dalam upaya kemerdekaan Indonesia. Bersama Soekarno, Beliau fokus untuk mengokokohkan nilai cinta tanah air Indonesia yang kita rasa mulai luntur tiap harinya. Akankah semangat patriotisme akan pudar seiring kepentingan-kepentingan materialis semakin mewabah.

Sejenak kita renungkan jasa beliau untuk mendidik bangsa yang besar ini. Semangat kebangsaan perlu kita tanam sedini mungkin melalui pendidikan formal maupun non formal. Hal kecil yang disepelekan seperti pelajaran PKn ketika Sekolah dasar akan melahirkan koruptor-koruptor nantinya jika tak teramalkan. Kebangsaan menjadi penting sebab disitulah kualitas atau derajat bangsa ditemukan.

Ibarat suatu kaum yang tidak menyukai tempat kelahiran atau lingkungannya tentu tidak akan dihargai oleh orang lain. Kebangsaan sendiri memprioritaskan rakyat bersama. Karena ukuran terhormatnya Negara sejatinya dilihat dari mayoritas rakyatnya bukan kaum ningrat atau kaum intelek. 

Kebangsaan erat kaitannya dengan kedaulatan rakyat, saling memperkuat satu sama lain. Tertera dalam nilai-nilai demokrasi bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Sampai saat ini, bahan-bahan diskusi tentang demokrasi sering dibincangkan. Demokrasi yang bagaimana yang diinginkan bangsa Indonesia? Apakah seperti demokrasi AS yang membentuk parlemen dan federasi. Tentu tidak.

Demokrasi di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila yang khas berbeda dengan Negara lain. Menurut M. Hatta, Indonesia menganut demokrasi tua, yakni berkiblat pada masyarakat terdahulu. Disebut Desa Demokrasi yang mempunyai tiga fungsi, yaitu musyawarah, protes, dan tolong menolong.
Share:

Filsafat dan Ideologi Pancasila

1 Juni 1945, itulah Hari Kelahiran Pancasila yang kita peringati tiap tahunnya. Tapi, sudahkah Pancasila hidup sejahtera di tengah-tengah masyarakat Indonesia seutuhnya ? itulah tugas yang harus kita emban dan realisasikan. Pancasila disebut sebagai Ideologi bangsa Indonesia mempunyai nilai-nilai falsafah yang berharga. Kajian ini sangat perlu digali demi memahami hakekat pancasila bagi bangsa.

Tertera sila-sila pancasila yang berjumlah 5 sila dengan butir-butirnya sebagai objek yang kita bongkar nilai-nilainya. Minimal kita mengerti bahwa bahan baku dari pancasila adalah bhinneka tunggal ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Inilah yang paling berharga dari bangsa Indonesia, yakni “Kesatuan”. Betapa kerasnya perjuangan para pendahulu kita yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Atas dasar kesatuan, mereka memimpikan negeri yang makmur dan damai.

Kembali ke zaman sekarang, masyarakat yang menerapkan nilai pancasila adalah suatu masyarakat yang hidup dalam keseimbangan berjiwa kekeluargaan dan religious. Pancasila mampu memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya pada perkembangan IPTEK yang pesat pada dewasa ini. Bukan berarti pancasila yang menyesuaikan teknologi melainkan teknologi yang membutuhkan arahan dari pancasila.

Dibutuhkan pendalaman pancasila sebagai dasar (Ideologi) dan keilmuan (llmiah). Sejenak kita melihat melalui pendekatan kebudayaan, pancasila pada hakekatnya adalah pernyataan jati diri masyarakat Indonesia. Pokok-pokok yang terkandung adalah kepridaian, keunikan, dan identitas.
Kepribadian itu berfungsi mengikat elemen-elemen internal dalam masyarakat, isi keunikan mengekspresikan individualitas dalam konteks pergaulan eksternal, dan isi identitas berkaitan dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan dalam skala waktu. Kemudian pada wawasan keilmuan, pancasila  merujuk pada pendekatan kapasitas aksiologi ilmu yang mempunyai sekurang-kurangnya tiga aspek, yaitu spiritualitas, keadilan, dan kekeluargaan.

Spiritualitas, terkandung dalam sila yang pertama “Ketuhanan yang maha Esa”. Dimensi ini menunjukkan bahwa pancasila menempatkan realitas spiritual-religius sebagai nilai tertinggi. Maka, prinsip-prinsip ilmu pengetahuan tak lepas dari kesadaran ekologis bersifat spiritual.

Keadilan, terkandung dalam sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, membatasi implikasi spiritual dalam forum interaksi antarmanusia, ditekankan pada aspek keadilan. Maksudnya diharapkan adanya penekan realisasi keadilan untuk membangun ilmu-ilmu seperti ekonomi, politik, dan sosiologi.

Kekeluargaan, terkandung dalam sila ketiga dan keempat “Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/keadilan”. Kekeluargaan menjadi prinsip dasar yang dinamis dalam sistem kemasyarakatan dan kebudayaan Indonesia.
Share:

Aspek Universal dan Nilai Etika Aksiologis Pancasila

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen dengan adat dan kebudayaan masing-masing. Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa harus memenuhi kebutuhan menyeluruh bangsa Indonesia, yakni mampu diterima oleh khalayak umum. Hal ini berkaitan dengan aspek universal dalam hak asasi manusia dan Pancasila.

Dari Sabang sampai Merauke telah mengenal Pancasila dari sekian abad lalu. Tetapi, sudahkah pesan-pesan itu tersampaikan di kehidupan nyata? Zaman Orde baru menyebut dirinya pancasilais dengan embel-embel kepentingannya sendiri. Sungguh memprihatinkan melihat Pancasila yang suci dari menyengsarakan rakyat. Maka, perlu untuk mendalami dan mempraktekannya.

Aspek pancasila tak lepas dari sejarah hak asasi manusia. Berangkat dari Magna Carta dari Inggris yang menuntut hak milik dan kebebasan pribadi milik rakyat dari raja John sampai Deklarasi Universal tentang Hak asasi manusia oleh PBB. Deklarasi ini berisi tentang kebebasan, kesamaan, hak pendidikan dan keagamaan, dan perkawinan.

Pada intinya Deklarasi universal fokus untuk menjunjung nilai kemanusiaan. Hal ini selaras dengan sila kedua Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai kemanusiaan tersebut senantiasa berdimensi universal yang dapat diterapkan oleh mayoritas pemerintahan di dunia. 

Pancasila juga berisi nilai-nilai etika aksiologis. Menurut Max Scherl, etika (tindakan manusia) didasarkan pada nilai. Nilai itu bersifat subjektif (perwujudan nilai tergantung subjek). Nilai adalah kualitas yang membuat suatu hal menjadi hal yang bernilai, sedangkan hal yang bernilai merupakan suatu hal yang membawa keualitas nilai.

Hal ini perlu digali untuk memperluas aspek pancasila karena nilai yang dianut Max Scherl menangkap nilai secara intuitif. Sikap dan tanggapan setiap orang berpengaruh dan menentukan kemampuannya dalam merasakan nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Erat kaitannya dengan teori Kant tentang kewajiban bahwa etika itu didasarkan pada kewajiban. Memang kenyataannya, orang sering bertindak lebih didasarkan aturan-aturan atau kebiasaan-kebiasaan daripada didasarkan pada nilai, tanpa peduli terhadap nilai yang mungkin mendasarinya.
Share:

Rabu, 27 September 2017

Software Tafsir dan Hadits


Berikut adalah beberapa software yang berkaitan dengan kajian Al Qur'an dan Hadits maupun bidang lain. software tersebut dapat di download secara gratis.
  1. Maktabah Alfiyah klik di sini 
  2. Maktabah Syamilah klik di sini
  3. Jawami' al-Kalim klik di sini
  4. Maushu'ah al-Hadits al-Syarif klik di sini
  5. Marja al-Akbar klik di sini
Share:

Sabtu, 23 September 2017

Makalah dan Kitab-kitab

Berikut adalah beberapa Makalah yang dibuat penulis baik individu maupun kelompok


Berikut adalah kitab-kitab yang dapat di download secara gratis:
Tafsir Al-Qur'an

  1. Tafsir wal mufassirun karya ad-Dzahhabi 
  2. Tafsir Ad-Dhahhak karya Ad-Dhahhak (105 H)
  3. Tafsir Muqatil karya Muqatil bin Sulaiman (150 H)
  4. Tafsir Ma'anil Qur'an karya al-Farra' (207)
  5. Tafsir Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya Ibnu Jarir al-Thabari (310 H)
  6. Tafsir Ahkam al-Qur'an karya al-Jashash (370 H)
  7. Tafsir Bahrul Ulum karya al-Samarqandi (393 H)
  8. Tafsir Lathaiful Isyarat karya al-Qusyairi (465)
  9. Tafsir al-Qur'an karya Raghib al-Ashfani (502 H)
  10. Tafsir Ahkam al-Qur'an karya al-Harasi (504 H)
  11. Tafsir Ma'alim al-Tanzil karya al-Baghawi (516 H)
  12. Tafsir al-Kasysyaf  karya al-Zamakhsyari (537 H)
  13. Tafsir al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Athiyyah (546 H)
  14. Tafsir Mafatih al-Ghaib karya al-Razi (605 H)
  15. Tafsir al-Qurthubi (671 H)
  16. Tafsir Anwal al-Tanzil karya al-Baidlowi (685 H)
  17. Tafsir Lubab al-Ta'wil karya al-Khazin (725 H)
  18. Tafsir al-Kabir karya Ibn Taimiyyah (728 H)
  19. Tafsir al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan al-Andalusi (745 H)
  20. Tafsir al-Qur'an al-Azhim karya Ibnu Katsir (774 H)
  21. Tafsir al-Miqbas min Tafsir ibn 'Abbas karya al-Fairuz Abadi (817 H)
  22. Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin al-Mahalli (870 H)
  23. Tafsir al-Jawahir al-Hisan karya al-Tsa'alibi (875 H)
  24. Tafsir al-Qur'an al-Azhim karya al-Tustari (896 H)
  25. Tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma'tsur karya al-Suyuthi (911)

Buku-buku Kajian Al-Qur'an dan Hadis

  1. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur'an karya Taufik Adnan Amal 
  2. Sejarah Teks Al-Qur'an karya M. Mustafa A'zami
Kitab Hadits

  1. al-Muwattha' karya Imam Malik
  2. Musnad Ahmad karya Ahmad bin Hanbal
  3. Sahih al-Bukhari karya al-Bukhari
  4. Sahih al-Muslim karya al-Muslim
  5. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud
  6. Sunan al-Tirmidzi karya al-Tirmidzi
  7. Sunan al-Nasa'i karya al-Nasa'i
  8. Sunan Ibn Majah karya Ibn Majah
  9. Sunan al-Darimi karya al-Darimi
  10. Sunan Shaghir al-Baihaqi karya al-Bayhaqi
  11. Sahih Ibn Khuzaimah karya Ibn Khuzaimah
  12. Mustadrak 'ala Sahihain karya al-Hakim
  13. al-Mu'jam al-Saqir karya al-Thabarani
  14. al-Umm karya al-Syafi'i
  15. al-Kafi karya al-Kulaini
Share:

Labels